Original article in English available here Translated by Devy Ramadiani and Rilda Silalahi Saya duduk di Lobby Parkroyal Hotel, mencoba untuk menemukan posisi wuenak di sofa. Dalam beberapa menit saya akan bertemu dengan Tessa untuk pertama kalinya. Tessa berbasis di Jakarta, namun sedang berada di Singapura untuk mengikuti regional leadership training. Saya beruntung ia menyetujui pertemuan ini walaupun mendadak. Ketika pintu lift terbuka, Tessa berjalan keluar dengan penuh percaya diri dan terlihat sharp. Gaun biru safir yang dikenakannya seperti memberikan energi tambahan. Kami saling bertukar senyuman. Tessa yang bernama panjang Egtheasilva Artella merupakan seorang recruiter di Shopee Indonesia. Di Shopee, ia bertanggung jawab atas campus recruitment, employer branding dan program management trainee Global Leaders Program. Ia telah mengunjungi dan tinggal di lebih dari 30 negara untuk liburan, sekolah, dan bekerja; Paris adalah kota favoritnya. Saat ini, Tessa telah kembali ke Indonesia secara permanen. Keputusan ini Ia buat dengan pertimbangan mengenai keluarga dan kebutuhan akan komunitas dengan latar budaya yang sama. Berikut skrip percakapan kami mengenai Eropa, buka puasa bersama, dan pulang ke rumah. [caption id="attachment_16213" align="alignnone" width="736"] Tessa sebagai wisatawan mahasiswa dengan Museum Louvre yang ikonik di Paris[/caption] Jocelyn Kaylee: Mari kita mulai dengan Paris. Apakah City of Lights ini seromantis yang digambarkan di film-film? Tessa: Haha! Bahkan untuk solo traveler itu betul. Gaya hidup di sana cenderung santai, oleh sebab itu saya secara tiba-tiba mendapatkan banyak waktu luang. Saya menghabiskan sebagian waktu bebas saya untuk mengunjungi kafe-kafe – Anda harus melihat detail klasik yang indah dengan mata kepala Anda sendiri. [caption id="attachment_16212" align="alignnone" width="624"] Tessa menjalani gaya hidup musim panas Paris di bawah Menara Eiffel[/caption] JK: Sepertinya Paris sangat berkesan untuk Anda. T: Itu pasti. Kunjungan ke Paris sudah tercantum pada bucket-list saya sejak awal. Melihat dan bahkan menyentuh Menara Eiffel merupakan hal yang surealis bagi saya. Saya sangat menyukai kota tersebut hingga saya melakukan detour untuk kunjungan ulang – kota itu harus menjadi kota yang mengakhiri dua tahun saya di Eropa. [caption id="attachment_16211" align="alignnone" width="960"] Tessa dengan teman-teman pendidikan magisternya merayakan ulang tahunnya di Valencia, Spanyol[/caption] JK: Anda seorang pemimpi juga ya! Dua tahun di Eropa – apakah Paris lebih dari sekedar liburan? T: Yep! Saya menghabiskan enam bulan di Paris. Pada saat itu, saya terdaftar di program Erasmus+ Master in Work, Organizational, and Personnel Psychology, yang berarti saya harus studi satu semester di Paris, dua semester di Valencia (Spanyol), dan kemudian magang di Irlandia. [caption id="attachment_16218" align="alignnone" width="960"] Tessa menikmati pemandangan Lough Inagh yang megah di Connemara, Irlandia[/caption] JK: Wow, kedengarannya luar biasa! Apakah ada preferensi antara Spanyol dan Irlandia? T: Irlandia, tidak diragukan lagi. Jangan salah paham – Spanyol adalah tempat yang sangat berwarna dan orang-orangnya sangat passionate. Saya menikmati kegembiraan yang konstan di kota, meskipun terkadang dapat terasa berlebihan. Irlandia, sebaliknya, sangat damai dan tenang. Ketika saya di tempat terbuka, saya dapat mendengar kicau burung dan kerikil berderak di bawah sepatu saya. Ketika saya di tepi sungai, saya dapat mendengar sungai mengalir dan pepohonan bergemerisik lembut. Dan ketika saya berada di pegunungan, terutama pada hari dengan langit yang cerah, kemegahan itu semua membuat saya merasa sangat kecil sehingga semua kekhawatiran saya memudar. Saat itulah saya sepenuhnya hadir dengan diri saya sendiri, mampu berhubungan dengan apa yang saya rasakan dan pikirkan di bawah hiruk pikuk sehari-hari. Anda harus mengunjungi Irlandia suatu hari nanti! JK: Dewan pariwisata Irlandia harus menjadikan Anda sebagai mitra pariwisata atau ambasador atau semacamnya! Apakah ada pertimbangan untuk melanjutkan karir di Irlandia? T: Tidak. Bahkan tidak untuk sesaat, karena saya benar-benar merindukan rumah. Irlandia adalah tahap terakhir dari dua tahun saya di Eropa; pada saat itu, saya mulai sangat merindukan keluarga saya. Saya sangat mandiri dan saya suka dapat melakukan semuanya sendiri. Tetapi hari-hari di luar negeri, pulang ke rumah yang sepi, secara bertahap kehilangan pesona dan daya tariknya. Saya hanya ingin pulang ke rumah di mana orang berbicara bahasa saya, di mana makanan favorit saya berada di setiap sudut jalan dan tentu saja, di mana saya tahu saya paling dicintai. [caption id="attachment_16346" align="alignnone" width="1920"] Masakan yang lezat dari Ibunda Tessa[/caption] JK: Apakah semudah itu menukar kemandirian Anda untuk keluarga dan rumah? Saya secara personal kesulitan untuk melakukannya ketika saya tinggal di Amerika Serikat. T: Haha! Saya dapat mengerti dilema Anda. Ketika saya tinggal di Eropa, tidak ada batas waktu malam dan saya dapat keluar masuk rumah semaunya. Akan tetapi, di Indonesia tempat keluarga saya berada, saya mendapat telfon dari orang tua saya pada jam sembilan atau sepuluh malam menanyakan mengapa saya belum pulang. Saya membutuhkan waktu untuk terbiasa kembali. Tetapi kemudian saya berpikir bahwa saya bisa makan masakan ibu saya, menghabiskan waktu bersama keluarga dan bertemu dengan teman-teman saya setiap kali saya merindukan mereka. Ada kebebasan dalam hal itu juga, bukan? [caption id="attachment_16208" align="alignnone" width="1370"] Tessa bersama teman-temannya dalam acara jamuan makan malam[/caption] JK: Nah, Anda memberi sifat non-sentimental saya bertanya-tanya. Adakah hal lain yang sangat Anda syukuri? T: Hmm… Bahasa kita? Saya tahu itu tidak menjelaskan banyak. Bahasa merupakan sesuatu yang sangat intuitif, sesuatu yang secara harfiah keluar dari mulut kita. Saya akui saya tidak terlalu menghargai Bahasa Indonesia sampai saya pergi dan diharuskan untuk hampir selalu menggunakan Bahasa Inggris untuk 12 tahun. Sekarang saya kembali ke Indonesia, saya dapat berbicara dengan bahasa ibu saya. Tetapi saya masih harus belajar bahasa slang Indonesia. Teman-teman saya di kantor sangat aktif mengajari saya dengan bahasa slang yang saya lewatkan. [caption id="attachment_16209" align="alignnone" width="1254"] Tessa makan siang bersama teman-teman recruiter Shopee ID di Jakarta Pusat[/caption] JK: Ada bahasa slang yang bisa Anda ajarkan kepada saya? T: Tentu saja! Coba… ada P.W. yang biasa diucap pewe. Kata itu merupakan singkatan dari kata posisi wuenak, yang artinya “posisi yang enak”. Lain kali ketika Anda menemukan posisi nyaman di sofa, dan seseorang meminta Anda untuk berdiri dan mengambil sesuatu, Anda bisa mengatakan, “Gw udah P.W nih, lu ambil sendiri aja”. Mager, atau singkatan dari malas gerak, dapat digunakan dengan konteks yang sama. JK: Haha! Seru sekali! Ada lagi? T: Hmm, sisi linguistik Anda akan seperti ini. Woles aja. Coba katakan ‘woles’ tapi dibalik? JK: Se-low. Slow? T: Itu dia! Woles artinya slow down, seperti “ slow down, relax”. Kalau di Singapura seperti “chill”. JK: Haha! Wawancara ini tiba-tiba menjadi kursus kilat. Saya rasa slang dan bahasa umum menjadikan pekerjaan menjadi sangat enak (nyaman) untuk Anda? [caption id="attachment_16206" align="alignnone" width="796"] Tessa dengan teman-teman People team Shopee ID meluangkan waktu untuk bonding sambil makan malam[/caption] T: Tentu. Sangat berbeda berada di komunitas yang cenderung homogen daripada heterogen. Ketika saya di Eropa, saya memiliki teman dan kolega dari Tiongkok, Iran, Kuba, Uzbekistan, Turki, Spanyol, dan tempat lainnya. Kami bersenang-senang mengobrol tentang kehidupan kami, berbagi makanan lokal dan menjelajahi kota bersama. Saya tidak melihat adanya kekurangan atau perbedaan tertentu, sampai saya kembali ke Indonesia dan ada buka bersama (buka puasa bersama) di tempat kerja saya. Saya harus melakukannya sendiri selama 12 tahun terakhir; memiliki komunitas untuk berbuka bersama itu benar-benar mengesankan. Berbicara tentang pengalaman mengesankan, memberi sedekah mungkin adalah hal yang paling sering terlihat di Indonesia. Mungkin karena Islam adalah mayoritas di sini, semua orang berlomba-lomba untuk memberikan sedekah, yang merupakan pusat Ramadhan. [caption id="attachment_16227" align="alignnone" width="2592"] Tessa dan teman-teman kerja ‘buka bersama’ di Orange Day yang bertemakan Ramadhan[/caption] JK: Bisakah Anda menceritakan lebih banyak tentang buka bersama dan sedekah? T: Tentu saja! Buka bersama (bukber) menandai akhir dari puasa harian kami selama musim Ramadhan ini. Bersama di sini maksudnya dilakukan dengan orang lain, sementara buka dalam konteks ini berarti berbuka atau membatalkan puasa. Saat matahari terbenam setiap hari, kami akan menunggu adzan (panggilan doa dari masjid) dan berbuka puasa bersama. Pengalaman ini sangat menyenangkan dan seru dibandingkan dengan berbuka puasa sendiri. Arti dari sedekah pada dasarnya adalah mengumpulkan pahala dengan memberi secara sukarela, terutama bagi mereka yang membutuhkan, terlupakan atau “tidak terlihat”. Banyak perusahaan disini melakukan usaha yang luar biasa untuk menggiatkan “bersedekah” melalui berbagai aktifitas perusahaan dan aplikasi seluler yang berhubungan dengan konsumen juga. Yang harus saya lakukan adalah mencari kegiatan/organisasi yang ingin saya dukung, lalu klik tombol untuk mentransfer sedekah saya. Saya sangat menghargai bagaimana perusahaan menggunakan teknologi untuk menciptakan platform yang memfasilitasi dan mendorong pemberian sedekah. [caption id="attachment_16215" align="alignnone" width="1280"] Tessa dan teman-teman kerjanya tampil mempesona dengan batik[/caption] JK: Itu sangat luar biasa. Tidak ada gunanya menikmati rezeki Anda sendiri tanpa membantu orang lain, bukan? Apakah Anda menantikan Hari Raya Idul Fitri, karena itu akan menjadi yang pertama dalam 12 tahun? T: Nah, tahun ini terasa lebih istimewa, karena ini yang pertama dalam waktu yang lama. Sebelumnya, saya selalu mengusahakan untuk pulang ke rumah untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Namun, kali ini adalah pertama kalinya dalam beberapa tahun saya menghabiskan seluruh bulan Ramadhan dengan keluarga saya. Saya bisa bertemu dengan teman-teman dan makan makanan paling enak juga, jadi saya puas! [caption id="attachment_16277" align="alignnone" width="1080"] Tessa mengajak teman-teman asal Tiongkoknya berkeliling Candi Prambanan di Yogyakarta, Indonesia[/caption] JK: Saya melihat kepuasan sebagai ciri umum di sebagian besar, jika tidak semua, teman Indonesia saya. Pernahkah Anda memperhatikan hal ini di teman-teman Anda dan diri Anda sendiri? T: Saya menyadari ketika seorang teman non-Indonesia membahasnya dalam percakapan serupa, tetapi tidak pernah sebelumnya. Sejak saya kembali, saya mulai mengamati orang Indonesia lebih dekat. Setelah tinggal di negara lain, saya dapat menyimpulkan bahwa orang Indonesia umumnya memiliki hati yang lebih lapang untuk membantu. Kami membangun hubungan emosional dan secara sadar membantu satu sama lain – beberapa orang melakukan praktik transaksional tetapi itu bukan mayoritas. Wow, merenungkan pertanyaan Anda membuat saya sangat senang berada di rumah. Indonesia adalah tempat P.W. saya. [caption id="attachment_16210" align="alignnone" width="937"] Tessa dalam trip domestik ke Bali[/caption] JK : Ini adalah saat yang indah. Apakah kita harus meninggalkan anda untuk menggambarkan lebih lanjut? Bagaimana jika kita mengakhiri pembicaraan ini dengan pesan untuk orang-orang Indonesia? T : Ya. Jika kamu masih muda, berkemaslah dan pergi jelajahi dunia di luar sana. Kamu akan bertemu dengan banyak orang yang berbeda dengan kamu – ketika kamu menjadi minoritas, kamu akan memahami arti toleransi. Kamu akan dipaksa untuk mempertimbangkan situasi yang sama dari perspektif yang berbeda yang akan memberikan kamu pelajaran untuk menjadi lebih sabar dan lebih dewasa. Kembangkan pengetahuan dan wawasanmu – kamu akan berterima kasih bahwa kamu telah meninggalkan zona nyamanmu dan mencapai jalan yang relatif lebih sulit. Dan jika kamu orang Indonesia yang bekerja atau tinggal di luar negeri, ayo pulang. Saat ini, banyak sekali kesempatan untuk kamu kembali ke Indonesia – banyak perusahaan yang sudah mengakui nilai unik yang dibawa oleh orang-orang yang pernah bekerja di luar negeri. Jadi pergunakan kesempatan ini dan pulang ke Indonesia. Kami menunggu kalian untuk buka bersama dan menyambutmu dengan tangan terbuka.
Berada di luar sana dan ingin kembali pulang? Shopee dapat membantumu mencari jalannya. Hubungi kami di http://careers.shopee.com/.]]>